Menguji Argumen Ahok soal Dasar Hukum Reklamasi Pantai Utara Jakarta - Kompas.com
Sabtu, 6 Juli 2024

Kaleidoskop 2016

Kaleidoskop 2016

Simak rangkuman peristiwa, informasi, dan ulasan topik hangat yang terjadi selama tahun 2016..

Menguji Argumen Ahok soal Dasar Hukum Reklamasi Pantai Utara Jakarta

Rabu, 6 April 2016 | 13:04 WIB
TRIBUNNEWS / HERUDIN Forum Kerukunan Masyarakat Nelayan Muara Angke membawa miniatur perahu nelayan saat berdemonstrasi di depan kantor KPK, Jakarta, Selasa (5/4/2016). Kedatangan mereka sebagai bentuk dukungan kepada KPK yang sedang mengusut kasus suap perubahan Raperda zonasi wilayah pesisir utara Jakarta yang melibatkan mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta M Sanusi dan Presdir PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja.

JAKARTA, KOMPAS.com — Proyek reklamasi 17 pulau di Pantai Utara (Pantura) Jakarta masih berlanjut.

Meskipun proyek ini ditentang sejumlah pihak, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bersikukuh bahwa hal ini tidak menyalahi aturan dan berpegang pada dasar hukum yang jelas dalam menerbitkan izin reklamasi.

(Baca juga: Apa Dampak jika Raperda Proyek Reklamasi Tak Disahkan?)

Selama ini, Basuki dan Pemprov DKI Jakarta berpegangan pada Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Menurut Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI Jakarta Tuty Kusumawati, bagian dalam Kepres Nomor 52 Tahun 1995 yang masih dipakai hanya Pasal 4.

Menurut pasal tersebut, wewenang dan tanggung jawab reklamasi Pantai Utara ada pada gubernur selaku kepala Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta.

Sementara itu, aturan terkait reklamasi bukan hanya Kepres Nomor 52 Tahun 1995.

Dalam perkembangannya, terbit Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur, dan Peraturan Presiden Nomor 122 Tahun 2012 tentang reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Dari sejumlah aturan itu, ada yang masih digunakan sebagai acuan. Namun, ada juga yang dinyatakan tidak berlaku karena digantikan dengan aturan yang baru.

Dinilai tidak berlaku

Menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, Kepres Nomor 52 Tahun 1995 sedianya tidak lagi berlaku karena sudah digantikan dengan peraturan yang lebih baru. 

"Kepres yang ada sebelum tahun 2000, sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945, sejajar dengan perpres sesudah tahun 2000. Karena kedudukannya sejajar, setelah ada perpres, yang lama dicabut, tidak berlaku lagi," kata Mahfud saat dihubungi Kompas.com, Rabu (6/4/2016) siang.

Mengenai adanya tiga aturan terkait reklamasi, ia menilai bahwa aturan yang berlaku adalah perpres yang terbaru, yakni Perpres Nomor 122 Tahun 2012.

Berdasarkan Pasal 16 perpres tersebut, menteri disebut sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada kawasan strategis nasional tertentu, kegiatan reklamasi lintas provinsi, dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah.

Pemerintah yang dimaksud dalam poin tersebut adalah pemerintah pusat.

(Baca juga: Susi: Kalau Rekomendasi Tidak Dilaksanakan, Reklamasi Tidak Boleh Dilakukan)

Masih dalam pasal yang sama, di poin nomor 3 tertulis, pemberian izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi pada kawasan strategis nasional tertentu dan kegiatan reklamasi lintas provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah ada pertimbangan dari bupati/wali kota dan gubernur.

Berdasarkan pengertiannya, kawasan strategis nasional tertentu adalah kawasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan atau situs warisan dunia, yang pengembangannya diprioritaskan bagi kepentingan nasional.

Dengan demikian, berdasarkan aturan itu, kepala daerah, seperti gubernur, hanya sebatas merekomendasikan tempat yang sebelumnya telah dipertimbangkan untuk dijadikan tempat reklamasi.

Sementara itu, pihak yang berhak mengeluarkan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi adalah menteri.

Mengenai kemungkinan Pemprov DKI Jakarta menyalahi aturan terkait izin reklamasi Pantai Utara Jakarta dengan berpegangan pada Pasal 4 Kepres Nomor 52 Tahun 1995, Mahfud menilai, hal tersebut tidak dapat langsung disimpulkan demikian.

Menurut dia, kesesuaian Jakarta untuk masuk dalam kategori kawasan startegis nasional tertentu harus dipastikan terlebih dahulu.

"Kan sekarang banyak persepsi, ada yang bilang termasuk, ada yang bilang bukan. Kalau itu sudah dipastikan, baru nanti bisa dinilai," tutur Mahfud.

Bukan kawasan startegis nasional tertentu

Dalam kesempatan terpisah, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah pernah menyatakan bahwa 17 pulau di Pantura Jakarta tidak termasuk dalam kategori kawasan startegis nasional tertentu.

(Baca juga: Susi: Jika Ada Kesalahan Perizinan Reklamasi, Bisa Diselesaikan bersama Ahok)

Dengan demikian, menurut dia, kewenangan mengeluarkan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi bukan di tangan menteri, melainkan gubernur.

Hal ini diatur lebih lanjut dalam poin nomor 4 Pasal 16 Perpres Nomor 122 Tahun 2012 bahwa gubernur dan bupati atau wali kota memberikan izin lokasi dan izin pelaksanaan reklamasi dalam wilayah sesuai dengan kewenangannya dan kegiatan reklamasi di pelabuhan perikanan yang dikelola oleh pemerintah daerah.

Pemprov DKI menganggap, daerah yang termasuk kawasan startegis nasional tertentu di Pantura Jakarta hanya empat pulau, yakni Pulau Onrust, Cipir, Kelor, dan Bidadari, yang merupakan peninggalan sejarah zaman Belanda.

Kompas TV Pro Kontra Reklamasi, Hentikan atau Teruskan?



Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Penulis: Andri Donnal Putera
Editor : Icha Rastika