Simak rangkuman peristiwa, informasi, dan ulasan topik hangat yang terjadi selama tahun 2016..
KOMPAS.com – Ekonomi digital menjadi topik utama saat Presiden Joko Widodo bertandang ke Amerika Serikat pada medio Februari 2016. Bila konsep itu terwujud, nilai potensi ekonomi digital Indonesia pada 2020 mencapai 130 miliar dollar AS atau setara sekitar Rp 1, 690 triliun dengan kurs Rp 13.000 per dollar AS.
"Pertanyaannya, langkah konkret apa yang harus disiapkan dan dilakukan untuk mewujudkan konsep itu?" tanya Ketua Komite Penyelarasan Teknologi Informasi dan Komunikasi (KPTIK) Dedi Yudiant, Jumat (18/3/2016), membuka perbincangan di Kompas.com tentang visi Presiden tersebut.
Dedi menyebutkan, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) tidak akan bisa dipisahkan dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), peranti jaringan (network), dan sumber daya manusia (SDM). Menurut dia, Indonesia sudah tertinggal jauh bila visi ekonomi digital dimulai dari sisi hardware dan software.
Capaian dan kecepatan pergeseran teknologi informasi dan komunikasi di bidang hardware dan software sudah sangat tinggi. Adapun soal network, ujar Dedi, tantangannya ada pada infrastruktur.
"Peluang Indonesia ada pada SDM. Semua lini itu, yang mana pun, butuh SDM untuk melakukan dan menjalankannya," ujarnya.
Mulai dari mana?
Menurut Dedi, sebaiknya cara melihat peluang dan potensi teknologi informasi dan komunikasi pada masa depan tidak semata merujuk pada kisah sukses Google, Facebook, atau beragam startup global.
"Kita malah akan kehabisan waktu mengejar capaian mereka kalau step by step persiapannya tidak disiapkan," ujar Dedi.
Untuk sebuah produk startup menjadi viral terpublikasi, dipakai dalam keseharian, dan menghasilkan pendapatan besar, ungkap dia, butuh dukungan SDM yang kuat di segala lini.
"Ini bicara dari konseptor, pembuat program aplikasi, pembuat desain web, sampai operator-operator yang akan menjalankan aplikasi-aplikasi itu di masyarakat," papar Dedi.
Karena itu, Dedi melihat visi Presiden soal ekonomi digital ini harus bersinergi dengan visi lain Presiden terkait penyiapan tenaga terampil melalui jalur pendidikan vokasi. Sejak awal menjabat, Presiden mendorong pendidikan vokasi dikedepankan, termasuk menyatakan bakal lebih dibutuhkannya lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) ketimbang sekolah umum.
"Tenaga-tenaga terampil di bidang teknologi informasi dan komunikasi ini harus dipasok sebanyak-banyaknya. Cara paling cepat dan masif, ya lewat SMK," saran Dedi.
Inkubasi
Sudah cukup? Belum. Dedi merasa masih melihat satu lagi pertanyaan tersisa untuk dijawab.
"“Kalau memang visinya ekonomi digital, sudah ada belum sih sentra teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia?" ujar Dedi merujuk pada sektor-sektor industri lain yang sudah punya sentra semacam itu.
Setengah berkelakar, Dedi memberikan contoh, kalau ingin menghasilkan orang yang ahli di bidang agama, butuh kehadiran pesantren atau lembaga pendidikan agama. Demikian pula kalau hendak mewujudkan produk kreatif di bidang kerajinan tangan atau bahkan industri "senior" seperti otomotif, pasti ada sentra-sentra produksinya.
"Mereka bisa berdiskusi, berbagi pembaruan informasi, dan karenanya memiliki dukungan sarana penunjang untuk mewujudkan ide besar di bidangnya," ujar Dedi.
Inkubasi, tegas Dedi, menjadi salah satu kebutuhan yang harus segera mendapat solusi.
"Kampung cyber atau apalah namanya. Infrastruktur dan penghuninya harus cocok. Jangan mau bicara visi ekonomi digital, tapi akses internetnya masih putus-putus atau terlalu terbatas," papar dia. (Baca: Jarang Upload, Orang Indonesia Tidak Kreatif?)
Potensi
Sensus penduduk Indonesia pada 2010, mendapati total populasi negeri ini mencapai lebih dari 237 juta orang. Dari angka itu, tren demografi memperlihatkan sebagian besar orang Indonesia sedang dan menuju usia produktif, rentang usia 15-35 tahun.
Penulis | : Palupi Annisa Auliani |
Editor | : Latief |