"Saya Pelacur, Saya Memohon, Saya HIV..." - Kompas.com
Minggu, 19 Mei 2024

Kaleidoskop 2016

Kaleidoskop 2016

Simak rangkuman peristiwa, informasi, dan ulasan topik hangat yang terjadi selama tahun 2016..

"Saya Pelacur, Saya Memohon, Saya HIV..."

Senin, 29 Februari 2016 | 19:02 WIB
KOMPAS.COM/ANDRI DONNAL PUTERA Tampak sepatu hak merah sebelah kiri yang terserak di tengah reruntuhan bangunan Kalijodo saat digusur, Senin (29/2/2016).

JAKARTA, KOMPAS.com - "Tuhan, jangan beri aku cobaan yang melebihi ini. Awalnya aku tak percaya dinyatakan sakit. Kukira ini mimpi, tetapi ini nyata."

Begitu catatan seorang pekerja seks yang ditemukan di salah satu tempat kos di Kalijodo, Jakarta Utara.

Dia memendam sakit, mengubur perasaan bersalah, hingga teror virus tak terobati: HIV.

Berantakan! Kaus dan celana mini berhias manik-manik tersebar di lantai kamar. Sebuah BH berwarna krem tergantung di satu ujung dinding kamar.

Sebuah kamar lainnya di lantai tiga Kafe Semilir Jaya ini tampak sama. Pakaian dalam hingga kondom berserakan. Pemiliknya tergesa setelah pemerintah dengan terburu-buru ingin menertibkan Kalijodo.

Sampul VCD bajakan tercecer di sana-sini. Dulu, ingar-bingar musik disko dan remix bergaung hingga dini hari dari kamar dan kafe-kafe.

Saat ini, kamar-kamar rerata ukuran 2 meter x 3 meter itu tidak lagi bertuan. Barang tersisa menjadi "santapan" pemulung.

Membuat mereka semringah membawa karung penuh barang bekas di punggung.

Kafe yang terletak di pinggir Jalan Kepanduan II ini telah ditinggalkan pemilik dan para perempuannya sejak pekan lalu.

Aliran listrik telah diputus. Angin yang berembus semilir dari sebuah jendela di ujung lorong menyeruakkan bau bangkai tikus, Sabtu (27/2/2016) siang itu.

Sebuah buku harian bersampul merah muda tergeletak di lantai. Nama pemiliknya Ayu, 22 tahun, seperti tertulis lengkap di buku.

Di halaman depan, dia mengaku "cewek jablay Kalijodo", biasa dipanggil Ega.

Sejak awal Oktober tahun lalu, dia mulai menulis kisahnya. Sebagian besar adalah sekelumit cerita percintaannya dengan seorang lelaki.

Di beberapa lembar, bekas bibir berlipstik tertempel saat hubungannya mesra. Sebagian lagi tentang keluarga, bagaimana dia ingin membahagiakan orangtua.

Terakhir, tentang penyakitnya. "Aku enggak tau lagi berapa lama bertahan. Tak tahu harus dapat biaya dari mana lagi. Pembengkakan pada kedua paru-paruku membuatku sulit bernapas dan membuatku tak tahan merasakan sakit yang amat menyiksaku," tulisnya.

Lalu, dia melanjutkan, "Tuhan, aku sadar penyakitku tak akan pernah sembuh, aku tahu hidupku tidak lama lagi. Aku ingin melewati hari-hari terakhirku bersamanya."

Nama Ayu dan seorang lelaki yang sering ditulisnya dalam buku terpampang di dinding salah satu kamar tersebut. Ada simbol cinta di antara nama mereka.

Uang dan penyakit

"Saya tidak sakit. Siapa bilang saya HIV? Saya juga sudah tidak di Kalijodo, sudah pulang ke kampung," kata ME saat dihubungi.

Nama gadis 25 tahun ini tercatat positif HIV sejak Oktober tahun lalu. Dia bekerja di Kafe Nusantara, satu dari ratusan kafe di Kalijodo.

Dia menceritakan, hingga Januari lalu, dia memang masih bekerja di Kalijodo setelah beberapa bulan sebelumnya dibawa seseorang dari kampungnya di Lampung.

Di sana, dia selalu melakukan pemeriksaan kesehatan sesuai aturan di tempatnya bekerja.

Saat ditanyakan mengenai kebiasaan tidak menggunakan kondom saat berhubungan, dia menjawab, "Kalau itu memang ada yang sering meminta tidak pakai. Kami juga bisa apa, memangnya siapa yang mau kerja kayak gitu?"

Dari catatan Puskesmas Pejagalan, setidaknya ada 55 pekerja seks yang terdata positif HIV per 2015. Sementara hingga pertengahan Februari lalu, telah ada 13 orang yang positif HIV.

Mami (56), begitu dia ingin dipanggil, mengembuskan asap rokok dengan kencang. Dia sedang mengawasi pembongkaran bangunan miliknya.

Pemilik salah satu kafe dengan 17 kamar ini mengawasi pembongkaran Kafe Ojo Lali di RT 006 RW 005, Pejagalan, Jakarta Utara.

"Semuanya sudah habis. Kami mulai bisnis ini berdarah-darah. Sekarang semua ceweknya (PSK) sudah pada pulang atau pindah ke tempat lain juga," ucap ibu empat anak yang tinggal di Kalijodo sejak 1984.

Ratusan pekerja seks-data Pemkot Jakarta Utara 450 orang-tidak terlihat lagi di wilayah ini.

Sebagian dari mereka pulang kampung, pindah ke tempat lain, diungsikan pemilik, atau dibawa lari pelanggannya.

Padahal, ucap Mami, pekerja seks di tempat ini sangat "berjaya" hingga awal bulan lalu. Tidak kurang, uang Rp 550.000 bisa diperoleh setiap hari.

Dalam sebulan, gadis-gadis yang sebagian besar dari Indramayu, Cirebon, juga Lampung ini bisa meraup Rp 20 juta, bahkan Rp 30 juta.

"Kalau untuk cewek yang terikat, sekali main bisa dapat Rp 55.000. Satu malam jatahnya itu 10 kali main dengan sistem voucer," ucapnya.

Voucer yang dimaksud adalah durasi waktu berhubungan setiap pelanggan yang hanya 30 menit. Kelebihan waktu akan diberi pembayaran tambahan oleh pemilik kafe.

Mereka akan mendapatkan uang dari akumulasi setiap awal bulan. Seperti gajian pegawai pada umumnya.

"Kalau yang tidak terikat jauh lebih besar dapatnya, sekali main rata-rata Rp 70.000 karena mereka tidak dapat tempat tinggal dan makan. Jadi, mereka kena charge untuk kamar saja."

Pekerja seks di Kalijodo terbagi dua, yaitu yang freelance dan yang terikat. Yang terikat adalah mereka yang tinggal di kafe-kafe tersebut.

Selain mendapat uang makan, mereka juga dapat obat-obatan dan diantar saat memeriksakan kesehatan.

Mereka yang terikat diantar oleh calo. Yelly, yang telah 27 tahun menetap di Kalijodo, berujar, calo itu adalah penjual putus.

"Kalau ceweknya cantik, bisa sampai Rp 20 juta. Kalau standar, antara Rp 10 juta sampai Rp 15 juta. Ceweknya harus menjalani masa training tiga bulan," ucapnya dengan pelan. Anak bungsunya tidur di gendongan.

Di dalam kafe itu sendiri ada pengasuh khusus. Mereka mengurus kebutuhan sehari-hari, seperti riasan, pulsa, rokok, kondom, juga obat-obatan saat PSK sakit.

Setiap PSK harus membagi lagi sekian persen pendapatannya dari setiap pelanggan dengan pengasuhnya.

Menurut Yelly, mucikari atau pemilik kafe pun mengambil keuntungan dari setiap pelanggan.

Dari tarif rata-rata PSK Rp 150.000, pemilik mengambil Rp 40.000. Sisanya untuk biaya keamanan dan operasional kafe.

"Di sini itu pekerja pada senang karena mereka dapat uang gede, dijaga lagi. Di sini dulu jarang ada keributan atau pekerja yang disiksa. Semuanya jalan seperti sistem," kata Yelli. "Kalau ada yang positif HIV, pasti dipulangkan. Akhir tahun lalu saya dengar ada yang meninggal di kampungnya."

Tak tahu ke mana

Kisah PSK Kalijodo diyakini menguap seiring dilaksanakannya penertiban hari ini. Pemilik kafe telah terbang dengan gelimang uang di tangan.

Calo dan pengasuh pun sama. Tinggal PSK yang entah ke mana. Mereka seliweran mencari tempat baru. Tanpa punya bekal keterampilan, pekerjaan selain jadi PSK sulit mereka bayangkan.

Dan, Ayu pun menulis, "Tuhan, maafkanlah jika aku mengeluh padamu, jika aku meminta padamu. Ku tahu dosa dan perbuatanku tak akan bisa kau ampuni. Tapi, aku mohon, jangan beri aku cobaan seberat ini." (Saiful Rijal Yunus)

----

Artikel ini sebelumnya ditayangkan di Harian Kompas edisi Senin, 29 Februari 2016, dengan judul "Saya Pelacur, Saya Memohon, Saya HIV..." Bagi yang ingin berlangganan harian Kompas, silakan kunjungi http://kiosk.kompas.com/ Anda juga bisa membaca harian Kompas melalui e-paper di http://epaper.kompas.com atau via web di http://print.kompas.com

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Editor : Icha Rastika
Sumber: Harian Kompas