JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah berjanji tidak akan gegabah bergabung ke dalam Kemitraan Trans Pasific atau
Trans Pasific Partnership (
TPP). Pemerintah menyiapkan tim untuk mengkaji rencana tersebut.
"Kami janji dari sisi pemerintah tidak akan serakah, sudah pasti akan berhati-hati dan kami hitung betul berapa
cost, ongkos, pengorbanan, dan apa manfaat yang kita dapat dari
trade agreement seperti
TPP," ujar Menteri Perdagangan
Thomas Lembong di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (7/2/2016).
Saat ini, pemerintah sudah menyiapkan surat keputusan (SK) untuk pembentukan tim kajian
TPP. SK tersebut digodok di
Kementerian Koordinator Perekonomian.
Lembong tidak menyebutkan kapan SK pembentukan tim kajian
TPP tersebut akan selesai, serta kapan tim kajian
TPP akan mulai bekerja. (Baca:
Persiapan Gabung TPP, Pemerintah Bentuk Tim). Selain itu, pemerintah juga telah setuju untuk melibatkan
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam setiap pembahasan mengenai rencana bergabung dengan
TPP. Sebab, negara-negara yang tergabung dengan
TPP diharuskan untuk mengubah aturan perundang-undangan.
"Saya kira itu layak dan pantas karena semua negara juga begitu. Misal AS, Kanada, dan
Vietnam juga meratifikasi UU melalui parlemen," kata Lembong.
Dia menambahkan, sering kali
trade agreement juga mewajibkan anggotanya mengubah UU. "Negara
Vietnam,
Malaysia, dan AS menerbitkan UU baru," kata Lembong.
TPP adalah kemitraan yang dalam kesepakatannya bakal mengurangi halangan tarif di antara 12 negara anggotanya.
Diperkirakan, kekuatan ekonomi kelompok ini mencakup 40 persen perekonomian dunia.
Selain
Amerika Serikat dan
Jepang, negara lain yang tergabung dalam
TPP yakni
Australia, Brunei Darusalam, Kanada, Cile,
Malaysia,
Meksiko, Selandia Baru, Peru,
Singapura, dan
Vietnam.