SEBATIK, KOMPAS.com -
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan kesiapannya untuk memberikan subsidi bagi para operator telekomunikasi yang mau membangun jaringan di perbatasan Indonesia. Subsidi tersebut rencananya bakal menggunakan dana
universal obligation service (USO).
Dana USO adalah dana kewajiban pelayanan umum yang dikumpulkan dari para operator layanan telekomunikasi, dengan besaran 1,25 persen dari total pendapatan. Dana ini sempat mengalami masalah di masa lalu, namun kini didesain ulang untuk pengembangan jaringan telekomunikasi di pelosok.
Dengan demikian, operator yang mau membangun di daerah pelosok tidak dibiarkan sendirian. Misalnya saat membangun
base transceiver station (BTS), Kemenkominfo akan membantu dari sisi ketersediaan listrik, pemerintah daerah diajak membantu menyediakan lahan, operator menyediakan alat transmisi sinyal, dan mengajak perusahaan lain untuk membangun menara yang dibutuhkan.
Direktur Balai Penyedia dan Pengelola Pembiayaan Telekomunikasi dan Informatika (BP3TI), Kemenkominfo, Wayan Toni Supriyanto mengatakan tahun ini dana USO sudah terkumpul Rp 8,1 triliun. Dari total itu sejumlah Rp 250 miliar dipakai sebagai dana subsidi pembangunan 125 BTS di perbatasan Indonesia.
"Kami sedang melaksanakan program Nawacita untuk mendorong pertumbuhan daerah perbatasan. Jadi kami ikut mendorong semua operator untuk hadir di daerah perbatasan, seperti di Sumatera, Kalimantan, Papua atau
Nusa Tenggara Timur," ujarnya saat ditemui di Sebatik, Sabtu (15/8/2015).
"Rencananya sampai akhir tahun kami ingin membangun 125 BTS seperti ini dengan dana sebesar Rp 250 miliar. Lokasinya ditentukan oleh Badan Nasional Pengelola Perbatasan," jelas Wayan.
Salah satu BTS jenis ini terdapat di desa Balansiku, Pulau Sebatik, Nunukan, Kalimantan Utara. Pulau tersebut adalah salah satu wilayah Indonesia yang berbatasan langsung dengan
Malaysia.
Operator telekomunikasi
Telkomsel baru-baru ini juga menyatakan kehadirannya di Pulau Sebatik. Mereka menyediakan 16 BTS 3G yang dapat dipakai untuk mengakses internet cepat dan 20 BTS 2G untuk layanan komunikasi dasar.
Menurut Wayan, sejauh ini baru
Telkomsel saja yang bersedia membangun infrastruktur di daerah terpencil seperti itu. Sedangkan operator lainnya, seperti Indosat, XL Axiata, Hutchison Tri Indonesia dan
Smartfren cenderung memilih daerah yang potensi bisnisnya tinggi.
Director Sales
Telkomsel, Mas'ud Khamid mengakui penyediaan infrastruktur daerah perbatasan memang tak mudah. Di Pulau Sebatik saja mereka harus mendatangkan BTS Combat dalam kondisi utuh.
BTS tersebut dikirimkan dari pelabuhan
Semarang melalui jalur laut. Setelah sampai ke tujuan, BTS masih harus diangkut melalui jalan darat menuju ke
site masing-masing. Sementara di lokasi lain yang tak memiliki jalur darat, alat pemancar sinyal itu mesti diangkut melalui sungai.
Setelah BTS berdiri pun masih harus ada operasional yang dijaga. Antara lain adalah pasokan listrik, baik melalui PLN atau menggunakan generator bermesin diesel.
"Satu BTS itu membutuhkan (operasional) sekitar Rp 40 juta sebulan, itu
nggak di kota
nggak di desa rata-ratanya segitu," ujar Mas'ud.
Selain Pulau Sebatik,
Telkomsel mengklaim telah menggelar layanan di pulau terdepan yang berbatasan dengan Papua Nugini (Merauke dan Jayapura),
Australia (Pulau Rote),
Timor Leste (Atambua),
Filipina (Sangihe),
Malaysia (Sebatik-Nunukan),
Singapura (Batam), dan
Vietnam (Kepulauan Natuna). Totalnya ada 480 BTS yang disebarkan ke daerah-daerah tersebut.