KOMPAS.com — Pertengahan Januari lalu, seorang remaja berumur 17 tahun asal New York, Osiris Aristy, mengunggah gambar pistol di akun
Facebook-nya. Di foto itu tertulis "
Nigga mengejar saya, dia akan kehabisan napas". Kalimat itu diakhiri penyematan
emoji "polisi" dan
emoji "pistol". Sejam berlalu, ia mengulang kalimat yang sama pada gambar yang sama.
Dilansir
KompasTekno, Selasa (17/2/2015) dari
Wired, tiga hari setelah unggahan itu, 18 Januari 2015, Aristy ditangkap kepolisian New York di rumahnya di Brooklyn. Berdasarkan laporan kriminal, remaja tersebut diduga melakukan ancaman teroris dan melawan kepolisian.
Seperti yang sudah terjadi pada status Twitter,
Facebook, dan media sosial lainnya, penggunaan
emoji pun ternyata dapat membawa seseorang ke ranah hukum. Lantas kebebasan berekspresi di media
online patut dipertanyakan.
Di Indonesia, hal ini masih menjadi perdebatan panjang menyusul pembahasan revisi terbatas untuk
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang dipastikan masuk prolegnas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 2015.
Emoji sebagai cara baru berkomunikasiDi ranah
online, kesalahpahaman lebih rentan terjadi karena komunikasi terjadi hanya melalui teks. Di sini,
emoji berperan menyalurkan emosi yang tak terlihat agar tak terjadi kesalahpahaman. Lewat
emoji, ekspresi marah, senang, malas, bosan, dan lainnya dapat tersalurkan.
Maka dari itu,
emoji bisa dikatakan sebagai bahasa baru di era
online. Terkadang, gambar yang menunjukkan berbagai ekspresi dan bentuk tersebut mampu menjelaskan sesuatu melebihi kata-kata. Tak heran,
kata paling populer 2014 bukanlah sebuah kata, tetapi
emoji "hati".
Terkadang, seseorang menggunakan emoji tertentu dengan konteks berguyon, tetapi dimaknai serius. Seiring dengan maraknya konten media sosial yang dijadikan bukti hukum sah, maka penggunaan emoji pun bisa jadi perkara. Apalagi, untuk emoji-emoji yang sifatnya sensitif, yakni emoji "bom", "pistol", "polisi", "api", "pisau", dan beberapa lainnya.
Emoji yang kontekstualAnalis dari Pusat Informasi Pengadilan Negeri New York, Greg Hurley, menanggapi hal ini. "Menurut saya,
emoji tak lain dari bahasa atau istilah
slang yang membutuhkan interpretasi pada beberapa situasi, dan di situasi lain dapat diartikan secara harafiah," kata dia.
Jika seseorang salah paham atas guyonan yang ditujukan lewat
emoji, mereka bisa belajar memahami konteks. "Isolasi pemaknaan
emoji justru akan membingungkan. Dalam konteks tertentu, intensi seseorang menggunakan
emoji tertentu dapat diidentifikasi dengan baik melalui proses memahami," kata Susan Herring, Profesor Ilmu Informasi dan Bahasa dari Universitas Indiana, Bloomington.
Menurut dia, manusia pada dasarnya dapat memahami kompleksitas bahasa yang memiliki beragam konteks penggunaan. Namun tetap saja, sulit mengemukakan pemahaman konteks tertentu jika pakemnya adalah payung hukum yang bersifat umum dan ketat.
Awal Februari lalu, tuntutan pidana Aristy telah dicabut. Kejadian ini bagaimanapun bisa dijadikan pembelajaran atas penggunaan media sosial. Pasalnya, konten yang ditulis dan diunggah dalam berbagai bentuk bisa jadi menimbulkan konsekuensi hukum yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.