Pica Erat dengan Gangguan Mental Lain - Kompas.com
Jumat, 10 Mei 2024

Kaleidoskop 2016

Kaleidoskop 2016

Simak rangkuman peristiwa, informasi, dan ulasan topik hangat yang terjadi selama tahun 2016..

Pica Erat dengan Gangguan Mental Lain

Minggu, 12 Januari 2014 | 20:43 WIB
Shutterstock Ilustrasi.


KOMPAS.com -
Gangguan pica atau Kebiasaan menelan benda-benda atau materi non nutrisi ternyata berhubungan erat dengan gangguan mental lain yang dialami oleh penderitanya.

Menurut psikiater Andrea S. Hartmann dari Department of Psychiatry, Massachusetts General Hospital and Harvard Medical School AS, gangguan pica dapat bersifat komorbid atau muncul bersama gangguan mental lain yang lebih membutuhkan penanganan klinis.

Gangguan mental itu mencakup hambatan dalam perkembangan kemampuan intelektual, spektrum autisme,  atau gangguan obsesif-kompulsif. Pica juga bisa terjadi bersamaan dengan gangguan rambut atau kulit, ketika keduanya juga ditelan oleh penderitanya.

Meski begitu, diagnosis pica hanya didiriikan ketika tubuh sudah mengalami masalah serius, misal penumpukan materi dari luar di usus atau lambung (bezoar). Namun ketika asupan non materi digunakan untuk menekan nafsu makan, seperti dalam anoreksia, maka diagnosis pica tidak akan meyakinkan.

Tidak hanya gangguan mental, pica juga erat dengan gangguan makan lain, misal  avoidant/restrictive food intake disorder (ARFID). Gangguan ini menyebabkan penderitanya sangat pemilih dan ketat dalam urusan makan. Penderita memilih makanan berdasarkan aspek sensorinya.

Individu dengan ARFID sangat sensitif pada tekstur makanan. Dengan pengaturan ketat tersebut, penderita berisiko mencari asupan lain, termasuk materi non-food, asal bertekstur sesuai keinginannya. Pica pada penderita ARFID juga bisa terjadi tidak disengaja, misal tanpa sadar menelan benda asing.

Menurut Hartman, pemicu pica pada setiap orang berbeda. Dalam laporan riset yang diterbitkan di Psychiatric Annals, pemicu bergantung pada komorbiditas yang menyertai, misalnya adakah delusi tertentu atau keinginan menyakiti diri. Bila terbukti ada komorbid yang menyertai, maka diagnosis pica hanya dibuat bila ada konsekuensi yang membutuhkan tambahan perhatian klinis.

Dengan kondisi ini maka pica memiliki beragam dampak. Komplikasi bergantung pada materi yang dikonsumsi dan keparahan yang timbul akibat gangguan tersebut.

Namun yang paling mengkhawatirkan adalah risiko terpapar logam berat baik pada anak, orang dewasa, dan janin.

Menghadapi pica, klinisi harus sadar gangguan ini bisa menimpa anak dan dewasa. Saat materi yang dikonsumsi  menimbulkan bahaya bagi saluran pencernaan, maka langkah pertama adalah mengobati dampak fisik tersebut.

Sementara untuk penderita pica yang mengalami gangguan mental,  disarankan untuk meningkatkan pengawasan dan penyesuaian lingkungan. Keduanya diharapkan menurunkan kemungkinan penderita mengkonsumsi materi non food. Sampai saat ini belum ada bukti empiris yang mendukung intervensi pengaturan tingkah laku tertentu untuk menyembuhkan penderita pica.

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Penulis: Rosmha Widiyani
Editor : Asep Candra
Sumber: healio psychiatry journals