GMT Memang Batal Tampil, tetapi Misi NASA Tetap Membuahkan Hasil

Rabu, 9 Maret 2016 | 20:19 WIB
KOMPAS.COM/YUNANTO WIJI UTOMO Foto menunjukkan hasil pengamatan gerhana oleh NASA dengan kamera polarisasi. Sebagian besar foto tampak gelap menunjukkan periode totalitas yang tertutup awan.

KOMPAS.com - Mendung tebal memang menyelimuti langit Maba, Halmahera Timur, saat gerhana matahari total Rabu (9/3/2016) hari ini.

Namun itu tak berarti seluruh misi penelitian Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) sia-sia.

Begitu periode gerhana matahari usai, ahli matahari NASA Nelson Raginald mengatakan kepada Kompas.com, "Kami tidak mendapatkan data apa pun."

Dia berdiri dan menunjuk pada rangkaian foto yang terpampang pada galeri di laptopnya, "Lihat semuanya hitam."

NASA awalnya ingin mengungkap misteri matahari yang hingga kini belum terjawab: mengapa korona matahari begitu panas?

Permukaan matahari hanya memiliki suhu sekitar 10.000 derajat Celsius. Namun, atmosfer atau koronanya memiliki suhu sejuta derajat Celsius. Kenyataan itu membingungkan ilmuwan.

Lewat pengamatan gerhana matahari total 2016 kali ini, ilmuwan NASA sebenarnya ingin mengurai misteri tersebut. Para ilmuwan membawa versi terbaru kamera polarisasi.

Kamera polarisasi versi terbaru itu baru dipakai untuk pengamatan gerhana matahari di Maba. NASA ingin mengetes kerja alat tersebut.

Sayang mendung menutup matahari sehingga tak ada data berharga yang berguna untuk menguK misteri korona.

Meski ada misi yang gagal, peneliti matahari NASA lainnya, Nat Gopalswamy, mengatakan bahwa penelitian kali ini tetap berharga.

"Ada beberapa hal yang membahagiakan. Kami berhasil mengonfirmasi bahwa korona matahari simetris," katanya.

Simetrisnya korona matahari menunjukkan tingkat aktivitas bintang itu. Dengan kesimetrisan yang dijumpai, ilmuwan mengonfirmasi bahaa matahari kini masih ada di fase aktivitas maksimum sesuai yang diprediksi.

Dalam fase mininum, korona biasanya tidak simetris, bagian sampingnya merentang lebih lebar.

"Kedua, kami membuktika bahwa alat kamui bisa bekerja selama 3 menit eksperimen," kata Gopal.

Dengan kesuksesan set-up alat itu, peneliti siap menggunakan kamera polarisasi versi terbaru untuk pengamatan gerhana matahari total berikutnya.

"Ke depan dengan penyesuaian kita bisa merancang alat dengan sistem yang sama untuk dikirim ke antariksa. Di sana pengamatan akan menguntungkan karena tidak ada awan," jelasnya.

Gerhana matahari total di Maba kali ini seharusnya menjadi yang terbaik karena durasinya paling lama, 3 menit 17 detik.

Gopal mengatakan, walaupun gerhana total tak bisa disaksikan, dia melihat kegembiraan warga.

"Saya melihat anak-anak. Ini momen bagi mereka untul mengenal astronomi. Siapa tahu di masa depan akan ada astronom dari Maba," katanya.

Penulis : Yunanto Wiji Utomo
Editor : Kistyarini