Di Candi Borobudur, Wisatawan Lihat Gerhana Matahari Pakai Klise

Rabu, 9 Maret 2016 | 16:34 WIB
Dok. PT. TWC Borobudur Penampakan gerhana matahari "sabit" menggunakan media negatif film (klise) dari Candi Borobudur Magelang, Rabu (9/3/2016).

MAGELANG, KOMPAS.com - Gerhana matahari total (GMT) yang melintas di sebagian wilayah Indonesia jauh berbeda dengan gerhana serupa yang terjadi pada tahun 1983 silam.

Dahulu, khususnya di Jawa, masyarakat ketakutan dan memilih untuk bersembuyi di dalam rumah. Namun kini, masyarakat justru berbondong-bondong keluar rumah menyaksikan fenomena langka ketika matahari tertutup bulan.

Gerhana menjadi momentum penting yang tidak boleh terlewatkan sedetik pun, khususnya bagi anak-anak.

"Saya malah sengaja mengajak anak-anak saya melihat langsung gerhana matahari. Ini akan menjadi pengalaman istimewa yang akan dikenang sepanjang hidup mereka," kata Choriroh Kurniawati, warga Kampung Pucangsari, Kota Magelang, Rabu (9/3/2016).

Choriroh mengaku sejak pagi sudah berangkat dari rumah dan "memboyong" ketiga anaknya, Aya (14), Rama (10) dan Izar (8), menuju Candi Borobudur, Kabupaten Magelang.

Ia memilih Candi Borobudur menjadi lokasi nonton bareng (nobar) gerhana karena dinilai sebagai tempat eksotik dan tentu cantik saat menjadi latar belakang gerhana matahari.

Choriroh tidak menghiraukan jika gerhana yang melintas di Magelang hanya gerhana sebagian, bukan total seperti di beberapa daerah di Sumatera dan Sulawesi.

Ia mengaku tetap takjub dengan pemandangan matahari yang nyaris sempurna tertutup bulan sehingga mirip sabit.

"Cantik sekali, walaupun kami tidak pakai kacamata khusus kami tetap bisa menyaksikan dengan negatif film atau klise bekas," ujarnya tersenyum.

Menurut Choriroh, di Magelang sulit mendapatkan kacamata gerhana. Ia memperkirakan karena gerhana yang melintas di wilayah ini hanya sebagian sehingga animo masyarakat lebih sedikit ketimbang di Sumatera dan Sulawesi.

Perempuan 48 tahun itu sesekali membimbing ketiga anaknya yang hendak melihat fase gerhana matahari menggunaka klise dari puncak candi Buddha terbesar di dunia itu.

Pagi itu, cuaca sekitar Candi Borobudur cukup bersahabat, cerah, hanya sedikit awan yang menutup langit. Sehingga mereka dan wisatawan lainnya dengan leluasa mengabadikan momentum proses gerhana matahari.

Ketika puncak gerhana sekitar pukul 07.24 WIB, cuaca mendadak temaram mirip mendung.

"Ibu, mataharinya seperti sabit. Ini lihat bu," teriak Izar, salah satu anak Choriroh.

Sementara itu ribuan wisatawan lokal maupun asing juga terlihat sudah memadati candi peninggalan Raja Samaratungga dinasti Syailendar itu.

Banyak di antara mereka yang sengaja datang pagi-pagi sekali untuk menyaksikan GMT dari Candi Borobudur.

Ada sebagian wisatawan yang sudah menyiapkan kacamata gerhana atau lensa filter kamera untuk memotret gerhana. Namun, banyak juga wisatawan yang tidak membawa.

Pihak Taman Wisata Candi Borobudur sendiri, tidak menyediakan kacamata khusus untuk melihat GMT kepada para pengunjung.

"Kami tidak ada acara apa-apa untuk menyambut GMT, semua berjalan normal seperti biasa," kata Kepala Unit PT TWCB, Krisna Murti Adiningrum.

Selain pakai negatif film, ada juga warga Borobudur yang memanfaatkan rongten untuk melihat gerhana. Beberapa lembar rongten ditumpuk lalu dipakai melihat langsung ke arah matahari.

Penulis : Kontributor Magelang, Ika Fitriana
Editor : Bayu Galih