Gerhana, Nyepi, dan Kita

Rabu, 9 Maret 2016 | 06:00 WIB
Agatha Bunanta Gerhana matahari total pada 22 Juli 2009 dilihat dari Kota Chongqing, China. Kamera Canon EOS 1D Mk3, ISO 800, rana 1/100 detik, diafragma 6,3, aperture priority dengan kompensasi minus 3, lensa 400 milimeter, dengan krop. Arsip Agatha Bunanta, pernah dimuat Kompas, 4/8/2009.

KOMPAS.com – Gerhana matahari total (GMT) yang melintas kembali di atas nusantara hari ini disambut dengan gempita. Layaklah kegempitaan itu karena fenomena alam ini sungguh langka. 

Indonesia merupakan satu-satunya negara yang akan dilintasi GMT 2016. Totalitas gerhana akan dimulai dari Pagai Utara, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada pukul 7:18 waktu setempat dan berakhir di Maba, Maluku Utara, pukul 9:56 waktu setempat.

Para pemburu gerhana, mulai dari turis hingga peneliti mancanegara, berbondong-bondong mendatangi delapan kota di Indonesia yang dilintasi GMT untuk membidikkan kamera pengamatan mereka.

Bagi ilmu pengetahuan, GMT merupakan momen untuk membuktikan teori relativitas Einstein. Baca: Takengon, Kota Tempat Pembuktian Teori Relativitas Einstein

GMT hari ini seolah perayaan atas rasionalitas masyarakat Indonesia. GMT tidak lagi menjadi fenomena yang menakutkan seperti yang pernah terjadi tahun 1983.

Kala itu, Soeharto melarang masyarakat untuk melihat gerhana secara langsung karena dapat menyebabkan kebutaan. Tak ada satupun gugatan yang rasional tentang bagaimana menyiasati proses pengamatan gerhana.

Di era itu, bahkan ada lurah yang memerintahkan anak-anak diikat agar tidak keluar rumah. Ada juga dokter yang menganjurkan untuk menutup mata kambing dan hewan ternak lain agar tidak buta.

“Cuaca kultural dalam menyikapi gerhana sudah berubah,” kata astronom dan filsuf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Karlina Supeli. Baca: Soeharto Gunakan Gerhana Matahari untuk Menguji Kekuasaannya.

Soal gerhana, peradaban manusia modern telah bertransformasi secara kultural. Dulu, saat manusia tidak memahami tentang apa yang terjadi saat siang tiba-tiba berubah menjadi gelap, muncullah beragam cerita untuk memaknai ketidaktahuan itu. Baca: Kisah Mereka yang Menelan Matahari.

Karlina mengingatkan, ”cuaca” kultural yang membaik adalah momentum bagi masyarakat untuk mengedepankan rasionalitas dan keilmuan. Peristiwa alam, kata dia, bukan untuk ditakuti, tapi untuk dipahami. GMT adalah momentum untuk mencerdaskan masyarakat dalam memahami dirinya dan lingkungannya.

TRIBUN BALI/RIZAL FANANY Pemuda Sekaa Teruna Teruni (STT) Mekarjaya Banjar Nagi saling lempar Kulit kelapa yang dibakar di depan Banjar Nagi, Ubud, Gianyar, Bali, Jumat (20/3/2015). Ritual Perang Api dilaksanakan STT Mekarya jelang pengerupukan atau sehari sebelum Nyepi.
Nyepi

Hal lain yang juga membuat hari ini istimewa adalah bahwa GMT jatuh berbarengan dengan perayaan Nyepi yang dirayakan umat Hindu. Nyepi berarti menarik diri dari segala kegaduhan.

Umat Hindu diajak untuk kembali ke ruang batinnya yang paling dalam, melakukan tapa berata, yoga, dan samadhi. Ia diajak berkaca tentang kayika-nya (perbuatan), wacika-nya (perkataannya), dan manacika-nya (pikirannya).

Sejak pukul 6 pagi hari ini hingga pukul 6 pagi esok hari umat Hindu "berhenti sejenak", diam, menempatkan hati di hadapan yang ilahi yang bersemayam di dalam diri.

Kebijaksanaan menyepi untuk kembali ke ruang batin sesungguhnya ada dalam setiap tradisi agama manapun. Sumber agung kebijaksanaan sejati ada di dalam diri. Paulo Coelho melukiskan dengan sangat indah perjalanan ke dalam diri sendiri di novelnya yang memukau, The Alchemist.

Dengan memasuki ruang batin diri sendiri manusia diajak untuk memahami Bhuana Alit (mikro kosmos) dan Bhuana Agung (makro kosmos), memahami diri dan lingkungannya.

Jika GMT kita maknai sebagai perayaan rasionalitas, maka Nyepi bisa kita maknai sebagai perayaan spiritualitas. Melalui keduanya, manusia sesungguhnya sama-sama ingin mengungkap misteri eksistensinya di semesta ini.

Melalui keduanya pula, manusia diajak untuk semakin bijak. Rasionalitas manusia dalam memahami banjir, misalnya, akan mengubah perilaku penanganan sampah, tata kota, hingga regulasi pengelolaan hutan. Dengan rasionalitasnya, manusia memahami bahwa perubahan alam adalah konsekuensi atas perbuatan manusia sendiri.

Demikian pula dengan spiritualitas. Melaluinya, manusia diajak untuk berperilaku bajik mengikuti mata batin.

Rasionalitas tanpa ketajaman mata batin adalah ancaman yang nyata. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pernah mengungkapkan, lebih dari 80 persen pelaku korupsi Indonesia adalah lulusan perguruan tinggi. Semakin pintar seseorang, semakin canggih korupsinya.

"Sekarang ada ribuan orang pintar, tetapi sedikit yang berakhlak," kata Mahfud. Baca: Mahfud MD Prihatin, 80 Persen Koruptor Lulusan Perguruan

Benarlah apa yang pernah diucapkan Bung Hatta. "Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat diperbaiki dengan pengalaman, tetapi kurang jujur sulit memperbaikinya."

Nyepi yang jatuh di hari yang sama dengan GMT seolah pengingat bahwa rasionalitas manusia kiranya berkembang bersama ketajaman mata hati. Keduanya hadir untuk bersama-sama mengembangkan kemanusiaan kita.

Selamat menikmati gerhana. Selamat merayakan Nyepi.

Penulis : Heru Margianto
Editor : Heru Margianto