Paradoks Orde Baru Sambut Gerhana Matahari

Rabu, 9 Maret 2016 | 05:50 WIB
Arbain Rambey/ KOMPAS Foto tes memotret matahari yang terbuka dengan data teknis filter ND 1000, ISO 100, diafragma 22. speed 2000, lensa ekuivalen 600 mm. Arsip Arbain Rambey, pernah dimuat Kompas, 9/2/2016.

JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia sekarang memakai kacamata yang berbeda memandang peristiwa bumi gerhana matahari. Efek keterbukaan informasi dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menuntun Nusantara ke sudut pandang yang berbeda.

Kegelapan sesaat sepanjang ribuan kilometer bakal terjadi pada 9 Maret 2016. Jalur umbra gerhana membentang sejauh 16.000 km, sebagian besar melintasi wilayah lautan. Indonesia adalah satu-satunya wilayah daratan di jalur gerhana tersebut.

Gerhana matahari kali ini punya kemasan berbeda. Sebab, euforia terasa membahana. Fenomena langka ini jadi objek yang bisa dinikmati siapa saja. Kondisi sekarang sangat kontras dibanding gerhana matahari yang terjadi sebelumnya di Indonesia, tepatnya pada 11 Juni 1983.

Waktu itu masa Orde Baru, era pemerintahan Soeharto. Masyarakat dijejali irasionalitas ilmu pengetahuan dan psikologi ketakutan yang disebarkan lewat banyak saluran yang tersedia termasuk corong media massa.

Soeharto kala itu memerintahkan Harmoko yang menjabat sebagai Menteri Penerangan untuk menyebar informasi bahwa gerhana matahari adalah ancaman buat masyarakat. TVRI dan RRI yang saat itu jadi alat komunikasi membantu menyiarkan dalil bila masyarakat menyaksikan langsung gerhana matahari akan menyebabkan kebutaan.

Instruksi Soeharto sampai ke pedesaan, terutama di wilayah yang terlintasi gerhana matahari 1983 di Pulau Jawa, Sulawesi Selatan dan Tenggara, Kepulauan Banda, Kei, Aru, serta daerah selatan Irian Jaya. Implementasi perintah Soeharto berhasil, warga jadi kalut dan takut keluar rumah.

Saat acara Uran-uran Mapag Grahanan (Dendang Ria Sambut Gerhana) yang digelar di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (8/3/2016), Budiman Tanurejo Pemimpin Redaksi Harian Kompas menjelaskan, pesan Orde Baru begitu masif hingga semua yang menarik tentang gerhana matahari hilang karena ketakutan yang dikembangkan.

Ia mengatakan, artikel tentang penyebaran psikologi ketakutan itu pernah ditulis oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada Kompas terbitan 1983.

“Artinya ada propaganda yang mengatakan jangan menyaksikan gerhana matahari secara langsung. Orang dibuat takut pada gerhana waktu itu pakai kentongan dan segala macam. Poin sebenarnya kan kalau melihat matahari memang berbahaya. Mataharinya yang berbahaya bukan gerhananya,” kata Budiman.

Modern

Kini karena kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan era keterbukaan, Kompas berusaha melakukan framing pemberitaan yang bertolak belakang dari 33 tahun yang lalu. Arahnya sekarang pada keriaan, kegembiraan, dan rasionalitas yang dikembangkan.

Respons masyarakat Indonesia sekarang sangat berbeda, Banyak acara dibuat khusus untuk menyaksikan gerhana matahari, kacamata anti-sinar ultraviolet laku keras, dan Indonesia kedatangan banyak wisatawan asing.

Cara masyarakat menyambut gerhana matahari sekarang dianggap positif, namun bukan berarti tanpa kritikan. Budiman mengatakan aspek komersial terlalu menonjol, karena fokus pemerintah terasa hanya ingin mendatangkan wisatawan. Padahal masih ada aspek lain yang bisa digali, misalnya ilmu pengetahuan.

“Kebudayaan juga akan muncul menafsirkan gerhana dari mata seninman, karawitan (seni suara), dan macam apapun juga. Banyak sekali aspek yang bisa dicari. Masih ada sesuatu yang bisa digali lebih jauh karena tata surya 4,5 milar tahun itu kan sesuatu yang layak diamati.” ujar Budiman.

Penulis : Febri Ardani Saragih
Editor : Bambang Priyo Jatmiko