Saat Gerhana Matahari Hadir Lebih Awal di Bentara Budaya Jakarta

Rabu, 9 Maret 2016 | 01:01 WIB
KOMPAS.COM/AMIR SODIKIN Grup tari dan teater Sahita saat pentas di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (9/3/2016).

JAKARTA, KOMPAS.com – Saat para warga bersukaria bermain lagu dolanan, tiba-tiba gelap. Matahari tak lagi terlihat. “Gerhana…gerhana…..,” teriak warga.

Maka, dalam waktu singkat, tetabuhan pun dibunyikan. Kentongan dan lesung bertalu-talu ditabuh ramai-ramai.

Salah satu mitos di Nusantara menyebutkan, matahari telah ditelan Batara Kala. Maka, untuk mengeluarkan matahari, perut Batara Kala harus dipukul-pukul, yang digambarkan dengan memukul benda apa saja  di sekitar warga.

Sepenggal kisah tadi adalah tafsir dari gerhana matahari dalam sebuah pementasan yang dibawakan oleh grup tari dan teater Sahita di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (8/3/2016). Malam itu, seolah-olah gerhana hadir lebih awal di Bentara Budaya Jakarta.

Gelaran tersebut merupakan rangkaian perayaan menyambut gerhana matahari di Bentara Budaya Jakarta. Malam itu, Sahita membuat para penonton yang memenuhi pelataran Bentara Budaya Jakarta terpingkal-pingkal dalam keriangan.

General Manager Bentara Budaya Frans Sartono mengatakan, kelompok teater tari Sahita memosisikan diri sebagai semacam punakawan. Mereka mengingatkan orang dengan cara menghibur.

Dengan gaya kerakyatan, Sahita leluasa masuk ke pasar, kantong kesenian, sampai hotel berbintang. Sahita tampil di Bentara Budaya Jakarta dalam tajuk ”Uran-Uran Mapag Grahanan” yang merupakan pentas dendang ria songsong gerhana.

Sahita menyambut gerhana dengan sukacita dan tari, nyanyi, canda kerakyatan. Pada gerhana matahari total 1983, banyak yang menjadi "korban" dari cara pemberian pemahaman yang keliru tentang fenomena alam tersebut.

"Sahita melihat peristiwa gerhana sebagai anugerah. Masih dengan cara merakyat, mereka menggunakan tembang, tetabuhan lesung yang mengungkapkan rasa sukacita, bukan rasa takut yang pernah mereka alami di masa lalu," kata Frans Sartono.

Dalam kehidupan di kampung-kampung dan pedesaan di Jawa, dulu, gerhana disambut dengan tetabuhan lesung. "Semangat optimisme dan sukacita menyongsong menyatunya Matahari, Bulan, dan Bumi dalam satu titik itu dimaknai Sahita sebagai momentum optimisme, menyongsong terang kehidupan," kata Frans.

Memori kolektif

Anggota Sahita ada empat orang. Mereka adalah Wahyu Widayati (Inonk), Sri Setyoasih,Atik Sulistyaning Kenconosari, dan Sri Lestari (Cempluk).  Dalam pentas malam itu, Sahita mampu menghidupkan suasana. Mereka mengajak para penonton memukul kentongan yang telah dibagi-bagikan sebelumnya.

KOMPAS.COM/AMIR SODIKIN Grup tari dan teater Sahita saat pentas di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (8/3/2016).
Maka, nostalgia masa lalu, ketika nenek moyang kita merespons gerhana dengan tetabuhan itu kembali hadir di pelataran Bentara Budaya Jakarta.

Lewat Sahita, kita diingatkan kembali bahwa secara budaya, gerhana matahari telah menyimpan memori kolektif orang Indonesia tentang kesadaran memahami alam semesta.

Memori kolektif itu oleh Sahita dengan mudahnya diurai. Penonton tak hanya ditarik ke masa kecil mereka, namun juga dibawa terbang ke lintas beberapa generasi ke belakang ketika masyarakat masih menganggap gerhana adalah peristiwa mistis yang menakutkan.

Dengan cerdas Sahita mengingatkan kembali bahwa gerhana adalah sebuah perkawinan alam semesta. “Saat itu, Bumi, Bulan, dan Matahari dalam satu garis sejajar,” kata seorang anggota Sahita.

Sahita juga menyampaikan beberapa hal terkait gerhana matahari. Misi Sahita mirip dengan juru penerangan, namun selalu punya cara yang luwes untuk menyampaikannya.

“BMKG memberi peringatan, menonton gerhana matahari tak boleh dilakukan dengan cara langsung ke matahari. Nontonnya harus dari bumi,” kata seorang anggota Sahita, disambut derai tawa penonton.

Sahita telah membawa malam itu penuh suka ria. Maka, mari kita saksikan pentas dari langit termegah abad ini dengan penuh suka cita. Gerhana Matahari Total 2016 jangan sampai kelewatan.

 

Penulis : Amir Sodikin
Editor : Amir Sodikin