Kisah 6 Jam Perjalanan Menuju Daratan dengan Gerhana Matahari Total Terlama di Dunia

Selasa, 8 Maret 2016 | 07:08 WIB
NASA Maba di Maluku Utara akan alami gelap terlama saat gerhana matahari total 2016.

MABA, KOMPAS.com - Hanya sekitar 5 jam penerbangan dan 1 jam perjalanan darat. Itulah perjalanan saya menburu gerhana matahari total ke Maba, Halmahera Timur.

Saya seharusnya sangat menikmati perjalanan itu. Seharusnya, saya menjumpai pengalaman manis dan pemandangan indah Indonesia Timur. Namun, nyatanya tak sepenuhnya begitu.

Tiga jam 20 menit setelah take off dari Bandar Udara Soekarno Hatta, saya tiba di Bandar Udara Sam Ratulangi Manado. Transit sekitat 1 jam, saya lalu melanjutkan penerbangan dengan rute Manado-Ternate-Buli.

Di pesawat, tampak pula rombongan wisatawan asing asal Belanda, peneliti dari Perancis, dan sejumlah pemburu gerhana dari Indonesia. Saya juga mengidentifikasi satu pejabat dari Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Tak ada apapun yang terjadi saat terbang dari Manado ke Ternate kecuali kabin pesawat yang panas serasa tak ber-AC. Namun begitu akan take-off dari bandara Sultan Babullah di Ternate, terjadilah sesuatu yang mengusik.

Seorang petugas masuk ke kabin pesawat Wings Air IW 1170 yang saya tumpangi. Dia lalu meminta saya, dan orang yang duduk di barisan depan dan samping saya untuk pindah.

"Ada rombongan Bupati, ya," kata orang itu. "Pindah ke nomor 11 sana," katanya.

Satu orang dari mancanegara yang ikut diminta pindah tampak kebingungan. Dia bertanya pada istrinya yang seorang warga Indonesia. Sang istri pun lantas menjelaskan.

"What? No way!" serunya. "Apa dia membayar lebih? Kita sudah duduk di sini. Hanya karena pejabat lalu dia minta kita pindah?" katanya ngomel.

Sang istri lantas menjelaskan pada paramugari bahwa dia membawa anak dan tak mungkin pindah. Akhirnya, hanya saya yang menjadi korban dan dipaksa pindah

Sampai di Maba, seorang warga negara asing lantas bercerita pada rekannya. Saya kebetulan mendengarnya. Sang rekan berkomentar, "Ah menyedihkan. Menyedihkan ada orang yang menyalahgunakan kekuasaan untuk hal-hal macam ini."

Dan saya pun juga sedih. Bukan karena saya menjadi satu-satunya orang yang harus pindah, tetapi karena hal-hal klasik macam itu harus terjadi di saat Indonesia seharusnya mampu menyambut baik, mengapresiasi turis-turis yang menghabiskan ribuan dollar untuk melihat gerhana matahari total. Indonesia tampak tak bersahabat karena sikap raja-raja kecilnya.

Tak hanya sekali

Pengalaman yang cukup menyedihkan juga saya alami dalam perjalanan darat dari Buli ke Maba. Saya tak bisa bahagia karena juga menjumpai area dan pulau-pulau kecil yang "botak" karena tambang nikel.

Pak Is, pengemudi mobil yang saya tumpangi, bercerita bahwa dahulu pulau-pulau itu hijau. Penambangan nikel kemudian membuat pulau itu menjadi gersang.

Salah satu yang ditunjukkan adalah Pulau Ge. Pak Is bercerita, banyak turis yang berminat ke sana. Namun dalam hati saya bertanya, untuk apa berkunjung melihat kegersangan?

Sepanjang jalan dari Buli ke Maba, Pak Is menunjuk sejumlah area yang menjadi botak karena tambang. Dia juga menunjukkan area yang mengalami kebakaran hutan kala kemarau panjang tahun lalu. "Waktu tahun lalu saya lewat sini, asap semua, tertutup," cerita Pak Is.

Sungguh menyedihkan bahwa tambang telah mengubah wajah daratan yang seharusnya punya potensi wisata itu menjadi wilayah yang kurang bernilai.

Buli dan Maba kini memang mulai berkembang. Dari sisi infrastruktur, Buli dan Maba sudah punya jalur transportasi darat, tak seperti wilayah Halmahera Selatan yang masih mengandalkan laut. Ekonomi juga mulai hidup.

Namun demikian, Maba pun juga harus mulai berpikir tentang cara membangun wilayahnya. Apakah akan bergantung pada kegiatan eksploitasi alam?

Di luar dua hal yang saya jumpai di atas, perjalanan ke Maba cukup menyenangkan. Perburuan gerhana ini sekaligus menjadi kesempatan pertama bagi saya untuk menginjakkan kaki di Halmahera Timur.

Saya bisa makan ikan bakar segar dengan sambal yang mirip dhabu-dhabu. Ada sejumlah pilihan sumber karbohidrat saat makan, yaitu nasi, singkong, ubi, dam pisang. Ada pula kuah ikan yang segar dan sayur pepaya yang nikmat.

Maba sendiri memang wilayah yang sepi dan sulit sinyal data. Namun inilah yang mungkin menarik. Siapa pun bisa lepas dari rutinitas dan benar-benar lari ke "dunia yang berbeda". Penduduk bercerita, masih ada satu pulau eksotis tak jauh dari Maba. Di sana, ada pantai elok dengan pasir putih. Saya akan ke sana...

Penulis : Yunanto Wiji Utomo
Editor : Amir Sodikin