Gerhana Matahari dan Dendam Si Buto

Senin, 7 Maret 2016 | 23:44 WIB
Arbain Rambey/ KOMPAS Foto tes memotret matahari yang terbuka dengan data teknis filter ND 1000, ISO 100, diafragma 22. speed 2000, lensa ekuivalen 600 mm. Arsip Arbain Rambey, pernah dimuat Kompas, 9/2/2016.

YOGYAKARTA,KOMPAS.com - Di beberapa daerah di Nusantara, terdapat berbagai cerita terkait fenomena gerhana matahari.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terjadinya gerhana matahari dan bulan dikaitkan dengan mitos dendam buto (raksasa) yang tidak mendapatkan air kehidupan para dewa.

Cerita buto tersebut, dulu sering diceritakan oleh para orang tua kepada anak-anaknya. Bahkan dulu, setiap kali ada gerhana bulan maupun matahari, warga baik tua muda dan anak-anak bersama-sama membunyikan Gejok Lesung (Tempat menumbuk Padi) dan kentongan.

Namun kini, hal tersebut seakan hilang ditelan zaman.

Mitos gerhana matahari

Raden Tumenggung (KRT) Rinto Isworo sebagai Penghageng Kalih Widya Budaya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, mengatakan, zaman dahulu orang tua selalu bercerita bahwa gerhana matahari itu karena dimakan Buto (Raksasa).

“Nenek moyang kita dulu, cerita kalau bulan dimakan buto. Jadi mataharinya gelap,” ujar Rinto, Senin (07/03/2016).

Kisah itu berawal dari kehidupan di Kayangan, tempat para dewa tinggal. Saat itu para dewa hendak membagikan air penghidupan yang diberi nama Tirta Amerta. Siapapun yang meminum Tirta Amerta akan hidup selamanya.

“Tirta Amerta itu hanya dibagikan untuk khusus para dewa. Selain dewa tidak boleh,” ujarnya.

Kabar akan adanya pembagian Tirta Amerta itu pun diketahui si Buto (Raksasa). Namun karena khusus dewa, maka si Buto memutuskan untuk menyamar.

“Ya karena hanya para dewa, Buto menyamar menjadi dewa,” ujarnya.

Saat sebelum pembagian dimulai, para dewa diminta untuk antri. Satu-persatu para dewa lantas maju Mereka meminum dengan cara menggunakan daun beringin. Karena Tirta Amerta jumlahnya hanya terbatas, maka para dewa hanya mengambil sedikit dan meminumnya.

“Pokoknya asal rata, sedikit tapi semua dewa dapat minum. Khasiatnya setelah meminum, dewa tidak akan mati,” ujarnya.

Buto yang menyamar akhirnya mendapat giliran maju. Namun, saat sampai di depan dan air Tirta Amerta baru sampai di mulut tiba-tiba ada anak panah melayang dan memutuskan leher si Buto. Ternyata itu anak panah milik Bethoro Suryo yang mengetahui jika Buto menyamar sebagai dewa.

“Dipanah itu lalu tubuh buto jatuh ke Bumi jadi lesung (Tempat menumbuk padi). Tapi kepalanya masih melayang-layang,” ucapnya.

Marah karena ketahuan, si Buto lalu dendam. Kepada Bethoro Suryo, Buto mengancam suatu saat akan menelannya. Tak hanya itu, ia juga mengancam akan memakan bulan di malam hari.

Akhirnya, ketika matahari atau bulan menjadi gelap karena gerhana nenek moyang selalu membunyikan gejok lesung (penumbuk padi) dan memukul kentongan. Hal ini dilakukan agar si Buto melepaskan matahari atau bulan.

“Zaman dulu, kalau tiba-tiba ada gerhana, langsung bunyikan lesung dan kentongan. Sambil bilang, to buto kui ojo di untal lepeh o (Buto itu jangan dimakan, keluarkan dari mulutmu),” katanya.

Tetapi Buto sudah terlanjur menelan matahari dan bulan. Tanpa sadar jika ia tidak memiliki perut. Sehingga meski ditelan, matahari maupun bulan tetap keluar lagi.

“Cerita mitosnya seperti itu, itu dulu zaman sebelum ada HP dan TV. Kalau sekarang mungkin sudah dilupakan dan jarang diceritakan,” kata dia.

Penulis : Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma
Editor : Erlangga Djumena