Mitos Gerhana Matahari Menurut Suku Dayak Wehea

Sabtu, 5 Maret 2016 | 09:51 WIB
KOMPAS/KARTONO RYADI Keindahan Gerhana Matahari Total (GMT) yang banyak diburu orang. Foto ini diambil dari Pantai Penyak, 36 kilometer di selatan Pangkal Pinang, Bangka, Sumatera Selatan, saat terjadi GMT 18 Maret 1988. GMT akan kembali terjadi di wilayah Indonesia pada 9 Maret 2016.

BALIKPAPAN, KOMPAS.com — Dongeng tentang matahari dan bulan diturunkan dari generasi ke generasi di antara keluarga di Suku Dayak Wehea, Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Matahari dan bulan tercipta dari antara penyesalan dan kerinduan. Gerhana matahari sebentar lagi melintas di atas Kaltim, membangkitkan kenangan beberapa orangtua akan dongeng para buyut yang sudah lama dilupakan.

Di sebuah pondok sederhana di tengah ladang, hiduplah sepasang suami istri, Dea Pey dan Weluen Long, yang bahagia setelah dikaruniai seorang putri mungil. Dea Pey, suami yang rajin dan pekerja keras. Weluen, istri yang penurut.

Saat itu, musim menanam padi. Dea Pey membersihkan ladang dengan cara menebang pohon dan membakar. Weluen membantu Dea Pey di ladang.

Membersihkan ladang bukan pekerjaan mudah. Dea Pey memutuskan meminta bantuan teman-temannya. Kebetulan, mereka adalah para Emta (berarti nabi dalam bahasa Dayak Wehea).

Sebagai penghormatan atas bantuan para Emta, Dea Pey berharap bisa memberi makan siang yang layak seusai menanam padi. Dea memancing ikan gabus cukup besar di sungai yang dirasa cukup untuk lauk seusai menanam padi. Ia pulang dan meletakkan ikan itu di atas kayu di samping pondok mereka.

Rombongan Emta tiba esok harinya. Dea Pey meminta Weluen tidak ikut turun ke ladang. Ia memerintah Weluen memasak saja di pondok dan menyajikan masakan yang baik untuk para Emta seusai menanam padi. Weluen menuruti keinginan itu.

Menjelang waktu makan siang, Weluen bingung harus memasak apa. Ia tak mempunyai lauk. Dari kejauhan, Weluen bertanya kepada Dea Pey. “Apa lauk bagi sayur yang kita makan siang ini?” tanya Weluen.

“Ikan di atas kayu di samping pondok. Potonglah sebagai lauk bagi sayur kita hari ini,” kata Dea Pey.

Weluen terdiam mendengar jawaban itu. Dalam pendengaran Weluen, Dea mengatakan, potonglah putri semata wayang mereka.



Lama berpikir, Weluen kembali bertanya untuk kedua kali. Demi menghormati perintah sang suami dan keberadaan para Emta, Weluen tetap di pondok dan bertanya dari jauh.

“Apa lauk bagi sayur yang kita makan siang ini?” tanya Weluen. Ia mengeraskan suaranya.

“Sudah kukatakan. Ikan di atas kayu di samping pondok. Potonglah sebagai lauk bagi sayur kita hari ini,” kata Dea Pey juga dengan suara lebih keras.

Weluen semakin dibikin bingung atas jawaban itu. Dalam pendengaran Weluen, Dea memang mengatakan potonglah putri semata wayang mereka untuk lauk hari itu.

Kali ketiga, Weluen mencoba memastikan kembali.

“Saya semakin bingung mencari lauk dan sayur untuk makan siang, sementara waktu semakin tengah hari. Apa lauk bagi sayur yang kita makan siang ini?” tanya Weluen.

Dea Pey sengit. Lantang ia bersuara. “Kami sudah lelah. Semua orang sudah mulai lapar. Ikan di atas kayu di samping pondok. Potonglah itu sebagai lauk bagi sayur kita hari ini. Cari apa lagi kamu, ikan itu sudah cukup besar, ” kata Dea Pey.

Weluen mengartikan, anak kita sudah cukup besar, potonglah dia untuk makan siang. Weluen kini yakin. Ia melakukan seperti "perintah" Dea Pey. Seusai memasak, tulang belulang putri mereka diletakkan rapi di pinggir dapur.

Makanan tersedia. Hidangan bagi para Emta, yang juga adalah nabi, jadi terasa istimewa.

Pondok mereka kecil. Para Emta pun antre untuk makan. Separuh dari mereka makan lebih dulu, sisanya menanti di luar pondok.

Dea Pey termasuk yang makan lebih dulu lantas memuji Weluen atas masakan itu.



“Saya menemukan daging dalam sayurmu. Dari mana itu,” katanya.

“Kamu yang meminta saya memasak daging untuk sajian hari ini,” kata Weluen sedih.

Dea Pey bingung lantas menjadi curiga. “Di mana anak kita,” tanya Dea.

“Kamu memerintahkan saya memotong anak kita untuk jadi lauk. Lihatlah tulang-tulangnya tersimpan rapi di pinggir dapur,” kata Weluen.

Dea Pey terperanjat atas pengakuan itu. Ia lemas ketika menemukan sisa tulang di pinggir dapur seperti kata Weluen. Keduanya kemudian saling menyalahkan.

Pertengkaran mereka sampai ke telinga para Emta, baik yang sedang makan maupun yang masih menunggu giliran.

“Kamu menyajikan anak kalian sendiri?” tanya para Emta. Seketika, para Emta menghambur pergi.

Para Emta yang sempat makan daging itu kemudian menjadi nabi-nabi yang jahat, penyebar ilmu hitam, rakus, dan menjadi penenung. Emta yang tak makan daging menjadi nabi pencerah dan penyembuh.

Dea Pey murka. Ia mengambil panci isi sayur itu dan menumpahkannya ke wajah dan badan Weluen sehingga membuat tubuh istrinya itu mengelupas.

Dea Pey menyesali semua yang terjadi, termasuk kesalahpahaman di antara mereka. Ia pun berusaha menenangkan diri. Ia terbang ke langit untuk menenangkan diri.

Dalam amarahnya yang membara dan penyesalan mendalam, Dea Pey menjadi matahari di langit.

“Kita akan bertemu jika kamu bisa mengejar aku suatu hari nanti. Saat kita sama-sama melepas rindu kita akan bisa berkumpul lagi,” katanya.



Weluen ditinggalkan dalam penyesalan mendalam pula, juga perih akibat luka bakar.

Hari demi hari, sebagian luka di tubuh Weluen itu membaik, kecuali di bagian punggung yang membusuk dan berulat. Weluen tersiksa dan menangis setiap malam karena sulit membersihkan luka di punggung.

Tangisnya yang menyayat mengundang kehadiran burung perungguk. Kepada perungguk, ia menceritakan dirinya yang ditinggal suami dengan luka bakar. Perungguk iba. Dengan paruhnya, ia membersihkan sisa luka Weluen.

Luka itu membutuhkan perawatan lama. Perungguk sampai tinggal menetap seatap dengan Weluen.

Ia pun mulai jatuh cinta pada Weluen. Cinta tak berbalas, tetapi perungguk keras hati.

Perungguk rajin membersihkan luka hingga bertahun-tahun lamanya sambil berharap bisa mendapatkan Weluen.

Setelah sembuh, Weluen berencana mengejar Dea Pey yang sudah menjadi matahari.

Dengan muslihat, Weluen meninggalkan perungguk yang sudah menemaninya bertahun-tahun membersihkan luka.

Perungguk menemukan Weluen terbang ke langit. Meski jauh melampaui kemampuannya mengejar ke langit, perungguk tidak putus asa. Ia mencoba mengejar Weluen.

Perungguk mencapai batas kemampuannya untuk terbang. Maka, turunlah si perungguk. Ia menyaksikan Weluen menjadi bulan.



Bersihkan hama

Kisah Dea Pey dan Weluen Long diceritakan turun temurun. Kisah seperti ini memang sudah mulai pudar. Beberapa orangtua saja yang masih mengingatnya.

Ding Lung, salah satu di antara warga Dayak Wehea yang masih mengingat cerita ini.

“Anak-anak disuruh masuk di bawah rumah (saat gerhana). Di situ, orangtua kita menceritakan kisah seperti ini,” kata Ding yang tinggal di Desa Nehas Liah Bing, Sabtu (5/3/2016).

Sedikit tentang Dayak Wehea.  Suku ini adalah sub-suku Dayak yang mendiami banyak desa di Kutim.

Selain Nehas Liah Bing, ada Long Wehea, Diaq Leway, Dea Beq, dan Bea Nehas.

Populasi masyarakat adat Wehea sekitar 6.000 orang. Suku ini semakin dikenal karena menjaga hutan Lindung Wehea.

Akhir kisah, kata Ding, perungguk selalu menatap bulan terlebih saat begitu terang. Bulan tampak bopeng-bopeng, persis seperti punggung Weluen yang rusak akibat luka bakar disiram sayur bikinannya.

Dea Pey sang matahari dan Weluen sang bulan bertemu saat gerhana, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan. Itu gambaran bagaimana Weluen akhirnya bisa mengejar Dea Pey dan mereka melepas rindu.

“Saat (gerhana) itu terjadi, biasanya warga memukul alu sampai gerhana selesai,” kata Ding.

Sejatinya, kisah ini tidak cuma sekadar cerita belaka. Hutan dan ladang merupakan kekayaan dari alam yang disediakan bagi mereka. Warga dalam kegiatan sehari-hari mengusahakan penghidupan dari ladang dan hutan itu.

Ding mengatakan, pada waktu-waktu tertentu bisa dianggap tepat untuk membersihkan hama pada kekayaan alam yang disediakan bagi mereka.



“Khususnya orang yang memiliki hutan adat dan kebun. Saat gerhana (dipercaya) menjadi waktu yang tepat untuk membersihkannya dari hama,” kata Ding.

Penulis : Kontributor Balikpapan, Dani Julius Zebua
Editor : Farid Assifa