Gerhana Matahari Total dan Paranoia Penguasa Orba

Selasa, 1 Maret 2016 | 19:16 WIB
KOMPAS/KARTONO RYADI Keindahan Gerhana Matahari Total (GMT) yang banyak diburu orang. Foto ini diambil dari Pantai Penyak, 36 kilometer di selatan Pangkal Pinang, Bangka, Sumatera Selatan, saat terjadi GMT 18 Maret 1988. GMT akan kembali terjadi di wilayah Indonesia pada 9 Maret 2016.

KOMPAS.com — "Hari itu semua gelap, kita ngumpet di kolong meja dalam rumah," kenang Asty, warga asli Cilacap, Jawa Tengah, menceritakan peristiwa gerhana matahari total pada 11 Juni 1983.
 
Tak ada memori indah yang bisa diceritakan Asty tentang fenomena alam yang baru akan terjadi lagi di Jawa pada tahun 2100 itu. Sungguh sayang. Padahal, Jawa kala itu menjadi lokasi terbaik pengamatan gerhana.

Para peneliti dari berbagai negara berbondong-bondong datang ke Indonesia hanya untuk menyaksikan fenomena menakjubkan itu. Akan tetapi, bagi Asty dan mungkin banyak masyarakat Indonesia lainnya, gerhana matahari total pada 33 tahun silam hanya meninggalkan kenangan menakutkan.

Pemerintah Orde Baru saat itu gencar melarang warga melihat langsung gerhana matahari total.

Pemerintah berdalih, melihat gerhana matahari tidak atau dengan menggunakan alat bantu sekalipun rawan menyebabkan kebutaan.

Presiden Soeharto menginstruksikan Menteri Penerangan Harmoko untuk terus-menerus memberikan penjelasan kepada masyarakat soal bahaya kebutaan saat gerhana matahari total terjadi.

Daerah yang menjadi lintas gerhana matahari total pada tahun 1983 meliputi sebagian Pulau Jawa, Sulawesi Selatan dan Tenggara, Kepulauan Banda, Kei, dan Aru, serta daerah selatan Irian Jaya.

Dalam cara pandang Soeharto kala itu, ada 40 juta jiwa penduduk yang ada di wilayah itu menjadi prioritas untuk "diselamatkan" dari ancaman kebutaan.

Instruksi pukul kentongan

Persiapan untuk menyongsong peristiwa besar gerhana matahari total sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 1981.

Namun, baru pada Februari 1983, pemerintah benar-benar mulai membuat aksi masif untuk mengampanyekan bahaya gerhana matahari total.

Pesan yang disampaikan seragam: gerhana matahari total berbahaya dan warga tak keluar dari rumah.

Kebutaan dikhawatirkan terjadi pada saat sinar matahari mulai muncul setelah kegelapan total.

Dikutip dari pemberitaan Kompas pada 16 Mei 1983, Presiden Soeharto mengeluarkan instruksi khusus untuk Menteri Penerangan Harmoko agar memberikan pemahaman kepada masyarakat akan bahaya itu.

Salah satu caranya adalah dengan membunyikan kentongan atau bunyi-bunyi lainnya pada saat gerhana untuk mengingatkan masyarakat agar tidak menatap matahari secara langsung.

Setelah instruksi disampaikan langsung Presiden, jajaran kementerian mulai bergerak. Mereka menyampaikan pesan mengenai bahaya gerhana matahari total melalui TVRI dan RRI serta mendatangi media-media massa lain.

Tak hanya itu, Direktorat Publikasi Departemen Penerangan juga telah menerbitkan buku Menyongsong Gerhana Matahari.

Instruksi Soeharto juga secara cepat menyebar ke pedesaan. Aparat desa mulai menyiapkan panitia pengamanan gerhana matahari total.

Sementara itu, tim penerangan yang dikoordinasi Departemen Penerangan berusaha menjangkau semua pedesaan di wilayah Sulawesi Tenggara untuk menyampaikan petunjuk menghadapi gerhana.

Dianjurkan agar beberapa jam menjelang gerhana matahari total dipukul kentongan dan beduk masjid sebagai tanda waktu untuk berada di rumah masing-masing. (Kompas, 31 Mei 1983)

Hanya boleh menonton TVRI

Departemen Kesehatan juga ikut menyampaikan bahaya kebutaan akibat gerhana matahari total ini.

Depkes menyarankan beberapa cara untuk menghindari kebutaan (Kompas, 4 Februari 1983).

Pertama, sama sekali tidak melihat atau menatap gerhana matahari. Khusus untuk umat Islam, disarankan sembahyang sunnah gerhana matahari sehingga kesempatan menatap gerhana hilang.

Jika tetap ingin menyaksikan matahari dapat melalui siaran TVRI. Opsi lainnya yakni dengan menyaksikan bayangan gerhana di lantai setelah sinar melalui celah.

Saat itu TVRI menayangkan penuh detik-detik menjelang gerhana, kegelapan total saat gerhana terjadi, hingga munculnya matahari yang kembali menerangi bumi.

Beberapa wilayah menjadi lokasi pengamatan TVRI yakni Candi Borobudur dan Tanjung Kodok, Tuban. Lembaga penyiaran pelat merah itu juga merekam tingkah polah binatang yang kebingungan dengan perubahan kondisi dari gelap ke terang.

Pemerintah memperkuat argumentasinya soal bahaya gerhana matahari total terhadap kebutaan dengan memaparkan data. (Kompas, 16 Mei 1983)

Dikatakan saat itu, di Australia terjadi 3.500 kasus kebutaan saat gerhana matahari total 1912.

Pada saat gerhana matahari total terjadi pada 1976, ada dua kasus kebutaan untuk tiap tiga juta penduduk.

Belakangan, data-data yang disampaikan pemerintah itu mengundang perdebatan.

Sosialisasi yang dilakukan pemerintah secara besar-besaran itu telah berhasil menimbulkan ketakutan di benak masyarakat Indonesia.

Pada saat ketakutan itu melanda, puluhan peneliti asing justru menjadi saksi sejarah peristiwa alam yang tak terlupakan dari kawasan Tanjung Kodok, Tuban.

Para peneliti yang merupakan pemburu gerhana matahari ini bahkan menyatakan gerhana matahari total tahun 1983 adalah yang terindah yang pernah mereka lihat.

Selain karena berlangsung cukup lama, yaitu sekitar 5 menit, cuaca juga sangat mendukung.

"Fantastis, menakjubkan, dan mengesankan," ujar Dr Morris Aizenman, koordinator tim astoronom Amerika Serikat. (Kompas, 12 Juni 1983)

Kini, 33 tahun kemudian, jangan sampai masyarakat Indonesia menyia-nyiakan gerhana matahari total pada 9 Maret 2016.

Penulis : Sabrina Asril
Editor : Yunanto Wiji Utomo