Sembunyi di Kolong dari Gerhana Matahari 1983, "Dosa" Pemerintah Tak Boleh Terulang

Selasa, 9 Februari 2016 | 21:59 WIB
Edwin Djuanda Gerhana matahari total pada 11 Juni 1983. Lokasi Tanjung Kodok, Tuban, Jawa Timur. Kamera: Canon F1, Film Kodakcolor, ISO 100, Lensa FD 400 mm/f/4.5 pada bukaan 5.6, kecepatan rana 1/15 detik dengan tripod, tanpa filter. Arsip Edwin Djuanda, pernah dimuat di Kompas, 4/8/2009.

JAKARTA, KOMPAS.com - Rektor Universitas Ma Chung Malang, Chatief Kunjaya, masih mengingat rasa malu yang mendera saat dia duduk sebagai mahasiswa tingkat tiga Astronomi Institut Teknologi Bandung.

Pada hari Sabtu tanggal 11 Juni 1983, dia bersama mahasiswa lain tengah mendampingi dosen astronomi ITB Winardi Sutantyo yang kini sudah almarhum sedang menjamu astronom asal Cekoslovakia (sebelum pecah menjadi Ceko dan Slovakia) untuk menyaksikan gerhana matahari total di Kota Solo, Jawa Tengah.

Datang di Lapangan Manahan yang kini menjadi Stadion Manahan, mereka bersiap untuk mengamati gerhana yang akan terjadi sekitar pukul 10.00. Peralatan pun disiapkan di Lapangan Manahan yang sengaja dipilih karena medan pandang ke arah langit yang luas.

Sayangnya mereka urung menonton di sana karena mereka didatangi tenaga pertahanan sipil (hansip) yang meminta mereka untuk pergi.

Alasannya, instruksi pemerintah daerah bahwa semua orang harus berada di rumah untuk mengamati gerhana matahari dari televisi.

Inilah cuplikan kisah Chatief yang dituturkan kepada wartawan Kompas, M Zaid Wahyudi, yang saat itu tengah merangkum kisah dari apa yang sedang terjadi pada gerhana matahari tahun 1983.

Saat gerhana matahari total terjadi tahun 1983, instruksi yang muncul oleh pemerintah justru meminta warga untuk berada di rumah dan menutup rapat-rapat seluruh lubang yang memungkinkan sinar matahari masuk untuk mengindari dampak buruk seperti kebutaan, hingga anak-anak diminta bersembunyi di bawah kolong meja.

Padahal, gerhana yang terjadi tahun 1983 boleh jadi kesempatan berharga karena lama fasenya mencapai 3-5 menit sementara gerhana yang terjadi pada 9 Maret 2016 hanya 1-3 menit.

Berdasarkan arsip harian Kompas, gerhana tahun 1983 mendapat pengakuan sebagai gerhana terindah yang pernah disaksikan para ahli saat itu.

Seperti apa suasana pelarangan untuk menonton gerhana atau pemikiran di balik pelarangan itu sendiri? Kisah selengkapnya akan diturunkan di harian Kompas yang terbit hari Rabu (10/2/2016).  Selain bisa dibaca di koran, laporan tersebut bisa dinikmati di e-paper yang bisa disimak di http://epaper.kompas.com, atau bisa pula mengakses versi web di http://print.kompas.com

Penulis : Didit Putra Erlangga Rahardjo
Editor : Amir Sodikin