Indahnya Lantunan Zikir dan Doa Saat Gerhana Kini Tinggal Kenangan

Selasa, 26 Januari 2016 | 20:00 WIB
KOMPAS.com/Masriadi Sambo Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Lhokseumawe Yusdedi.

LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com - Yusdedi ingat benar, dulu, saat masih muda, dirinya bersama warga kampung akan berbondong-bondong pergi ke meunasah atau madrasah (tempat belajar) dan masjid saat gerhana matahari tiba.

Di sana, mereka akan bersama-sama berzikir dan berdoa setelah melantunkan azan.

Zikir, doa, shalat dan azan, ungkapnya, diajarkan turun-temurun di Aceh untuk dilakukan saat gerhana tiba. Melalui hal itu, warga melantunkan harapan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar fenomena alam itu tidak berdampak negatif kepada penduduk bumi.

“Masyarakat memohon pada Allah SWT agar selalu dilindungi, dihindarkan dari segala mara bahaya saat gerhana itu tiba,” ujarnya saat ditemui, Senin (25/1/2016).

Ditinggalkan

Yusdedi tak ingat kapan terakhir kali warga tidak lagi melakukan budaya berzikir dan berdoa bersama-sama. Namun, menurut dia, perubahan zaman perlahan membuat tradisi itu sirna.

Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Lhokseumawe itu bahkan mengatakan, warga sudah tak peduli lagi tentang gerhana, matahari maupun bulan. menyebutkan masyarakat mulai melupakan tradisi Aceh saat gerhana tiba.

“Biasanya, saat sebelum gerhana masyarakat memulai zikir, mengaji dan azan ketika gerhana matahari dan gerhana bulan di Aceh. Tempo dulu, begitu melihat gerhana, masyarakat langsung berbondong-bondong ke masjid atau meunasah (mushalla), sekarang tidak ada lagi masyarakat begitu,” ungkapnya.

Perubahan itu, lanjut Yusdedi, tidak hanya terjadi di perkotaan. Di pedesaan pun sudah jarang masyarakat yang menyambut gerhana dengan zikir dan doa.

Dia pun berharap, warga bisa kembali memulai kebiasaan-kebiasaan baik yang diwariskan nenek moyang. Tahun ini, gerhana matahari diperkirakan terjadi pada 9 Maret 2016. Di Lhokseumawe, gerhana matahari diperkirakan terlihat pukul 06.26 WIB dengan kisaran 70 persen.

“Lama-lama masyarakat kita semakin tergerus dari adat dan istiadat endatu (nenek moyang). Mereka mulai melupakan. Karena itulah, kita-kita ini bertanggung jawab melestarikan budaya itu,” ujar Yusdedi.

“Mari sama-sama kita lestarikan kembali budaya ini sehingga, anak cucu kita ke depan, tahu bagaimana leluhurnya menyambut gerhana matahari dan gerhana bulan,” tambahnya.

Penulis : Kontributor Lhokseumawe, Masriadi
Editor : Caroline Damanik